Sajak-Sajak Fikri MS
Stasuin Ijo Kebumen
Stasiun Karang Anyar lenyap oleh lelah
Stasiun Ijo jadi pilihan
Kami turun, berlari
Padahal rasa kantuk nan lapar kian bergumul,
Lantas kutulis sajak ini di teras malam stasiun agar terkenang esok
Agar menjadi peristiwa di secarik kertas
Sambil menunggu jemputan yang tibanya setelah kokok ayam jantan
Yang saling bersahutan seolah menyambut kami yang kelelahan.
20 Januari 2010
Wrutuk*
Seekor wrutuk berbaring di telapak-tanganku seperti mati
Saat gelombang mencumbu bibir pantai
Gelisah ia mencium bau laut yang khas
“tenang saja” Bisikku,
Lalu kuletakkan ia, tubuhnya masuk ke pasir sembunyi
Tak nampak jejaknya seperti sesajen yang hilang ditelan ombak selatan
Pantai Selatan, 21 Januari 2010
*sejenis rimata laut berukuran, kecil yang hidup di pasir pantai menyerupai
Di kapal antara Merak-Bakau Hueni
Penumpang-penumpang hilir mudik mencari sela istirahat memburu nyaman
Sementara bujuk rayu pedagang buku bertambah seru
Dua jam pelayaran kiranya cukup melelahkan
Di atas sana matahari terik membias deburan ombak di dinding kapal
Bagiku puisi ini tak berujung meski kapal telah bersandar di dermaga Bakau Hueni
Lalu
Waktu
Berlalu
Kangen
Setengah perjalananku ditandai debur ombak pelabuhan Merak-Bakau Hueni
Separuh hati ini masih segar ingat kau di sana
Sisanya tertambat kampung halamanku
Kangen
Belumlah sempurna perjalanan ini hingga keduanya jadi satu
Engkau dan kampungku
Kecuali bila kita tempuh keduanya demi lunaskan harapan
Stasiun Karang Anyar lenyap oleh lelah
Stasiun Ijo jadi pilihan
Kami turun, berlari
Padahal rasa kantuk nan lapar kian bergumul,
Lantas kutulis sajak ini di teras malam stasiun agar terkenang esok
Agar menjadi peristiwa di secarik kertas
Sambil menunggu jemputan yang tibanya setelah kokok ayam jantan
Yang saling bersahutan seolah menyambut kami yang kelelahan.
20 Januari 2010
Wrutuk*
Seekor wrutuk berbaring di telapak-tanganku seperti mati
Saat gelombang mencumbu bibir pantai
Gelisah ia mencium bau laut yang khas
“tenang saja” Bisikku,
Lalu kuletakkan ia, tubuhnya masuk ke pasir sembunyi
Tak nampak jejaknya seperti sesajen yang hilang ditelan ombak selatan
Pantai Selatan, 21 Januari 2010
*sejenis rimata laut berukuran, kecil yang hidup di pasir pantai menyerupai
Di kapal antara Merak-Bakau Hueni
Penumpang-penumpang hilir mudik mencari sela istirahat memburu nyaman
Sementara bujuk rayu pedagang buku bertambah seru
Dua jam pelayaran kiranya cukup melelahkan
Di atas sana matahari terik membias deburan ombak di dinding kapal
Bagiku puisi ini tak berujung meski kapal telah bersandar di dermaga Bakau Hueni
Lalu
Waktu
Berlalu
Kangen
Setengah perjalananku ditandai debur ombak pelabuhan Merak-Bakau Hueni
Separuh hati ini masih segar ingat kau di sana
Sisanya tertambat kampung halamanku
Kangen
Belumlah sempurna perjalanan ini hingga keduanya jadi satu
Engkau dan kampungku
Kecuali bila kita tempuh keduanya demi lunaskan harapan
Sajak-Sajak Denny Mizhar
Cinta Di Bulan Juni
Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.
O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.
Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.
Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.
Malang, Juni 2010
*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)
Sajak Untuk Neng
:lis
Betama lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.
Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.
Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.
Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.
Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu?tak ada.
Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Illahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.
Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.
Malang, Juni 2010
Gadis Bermata Burung Hering
aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.
debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku
dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.
aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.
terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan